
LUWU, SEJARAH YANG TERLUPAKAN
Luwu, daerah yang terletak di ujung utara Sulawesi Selatan. Selain
terkenal dengan hasil alamnya yang melimpah (pertanian, perkebunan,
tambang nikel, dll) juga memiliki torehan sejarah yang cukup menarik.
Kitab I Lagaligo merupakan teks sastra peninggalan kerajaan Luwu dan
masih terpelihara keasliannya menjadi bukti betapa kerajaan Luwu
memiliki tradisi intelektual. Selain kitab I Lagaligo, beberapa
peninggalan lainnya mempertegas kebesaran Luwu. Seperti, bangunan
kerajaan, masjid, batu nisan, dan masih banyak lagi.
Menurut
beberapa ahli sejarah, Luwu merupakan kerajaan Bugis tertua sebelum
berdirinya kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Sekalipun masih
terjadi perdebatan diantara ahli sejarah mengenai kapan fase awal
kerajaan Luwu dimulai Kitab I Lagaligo menyebutkan jika Luwu mampu
menghegemoni beberapa kerajaan yang ada di sekitarnya.
Bahkan masuknya islam di Sulawesi Selatan diawali dari Patimang (dulunya
pusat kerajaan Luwu) yang dibawa oleh Dato Sulaeman. Kehadiran islam
yang sebagian besar dibawa oleh pedagang muslim mengindikasikan Luwu
memiliki hubungan ekonomi dengan daerah lain di luar Sulewesi Selatan
saat itu. Semenjak kedatangan islam, Luwu menjadi daerah yang
mengedepankan nilai-nilai religius.
Walau sebenarnya sebelum
kedatangan islam di Luwu, masyarakat Luwu mempunyai kepercayaan terhadap
ketuhanan yang kental. Kepercayaan terhadap ketunggalan Tuhan
diterjemahkan dalam konsep Dewata Seuwae.
Ajaran Sawerigading.
Sejarah Luwu tidak dapat dilepaskan dari tokoh Sawerigading. Meski
sebagian orang menganggap tokoh Sawerigading hanya sebuah mitos belaka.
Tapi bagi masyarakat Luwu, Sawerigading merupakan simbol kebesaran nama
Luwu. Ia dikenal dengan ajaran-ajaranya.
Buku Keadatuan Luwu
Perspektif Arkeologi, Sejarah, dan Antropologi karya Moh Ali Fadillah
dkk menjelaskan tentang silsilah Sawerigading. Sawerigading adalah putra
dari Batara Lattu dan We Opu Senggeng. Sementara Batara Lattu adalah
putra dari Batara Guru dan We Nyilik Timok. Sawerigading memiliki
saudara kembar perempuan yang bernama We Tenri Abeng. Setelah dewasa,
Sawerigading menikah dengan I We Cudai. Hasil dari perkawinannya ini
melahirkan I Lagaligo, I Tenridia, dan Tenribalobo. Ia juga mempunyai
anak bernama We Tenriwaru dari hasil pernikahannya dengan I We Cimpau.
Sawerigading merupakan penggambaran manusia setengah dewa yang mampu
mengejawantahkan nilai-nilai langit (Ilahiah). Beberapa ajarannya masih
dipegang oleh sebagian pemangku adat yang ada di Luwu. Ajarannya antara
lain adele (adil), lempu (jujur), tengeng (benar), getteng (teguh).
Setelah Sawerigading tidak ada, kerajaan Luwu terus mengalami
perkembangan tanpa meninggalkan ajaran Sawerigading. Struktur birokrasi
di kerajaan Luwu boleh dikata cukup mapan untuk ukuran sebuah kerajaan
pada saat itu. Berbagai perangkat birokrasi yang ada memudahkan kerja
sistem pemerintahanu. Perangkat adat itu antara lain Pakatenni Ada’ ,
Ada Asera , dan Ada Sapulo Dua (Moh Ali Fadillah dkk, 2000).
Pakatenni Ada’ (pemangku adat utama) merupakan badan eksekutif yang
berada dibawah raja. Terdapat juga Opu Pabbicara sebagai juru bicara dan
Opu Tomarilalang yang menjalankan fungsi kehakiman.
Ada
Asera (adat sembilan) menjalankan fungsi legislatif, yang mana mereka
semua merupakan perwakilan rakyat. Ada Asera terdiri dari anak tellue
yaitu Opu Ma’dika Ponrang, Opu Ma’dika Bua, dan Opu Ma’dika Baebunta.
Selain anak tellue ada juga bendera tellue, yang merupakan perwakilan
prajurit, pekerja, dan anak bangsawan. Dan bate-bate tellue yaitu
perwakilan para pendatang.
Ada sappulo dua (adat dua belas), yaitu adat sembilan ditambah dengan perwakilan golongan kaum agamawan.
Adanya struktur birokrasi tersebut menjadi bukti bahwa proses
demokrasi bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Luwu. Pengambilan
kebijakan kerajaan bukan sepenuhnya menjadi otoritas raja melainkan
melibatkan masyaratkan lewat perwakilannya di Ada’ Asera. Perangkat adat
tadi agak mirip struktur birokrasi yang ada di Negara modern saat ini.
Nilai yang dilupakan.
Perubahan yang cepat di luar Luwu, juga berdampak signifikan
terhadap Luwu. Semangat otonomi daerah, menjadikan Luwu terbagi dalam
empat kabupaten/kota. Keempat daerah tersebut antara lain kabupaten
Luwu, Kota palopo, Kabupaten Luwu Utara, dan Kabupaten Luwu Timur.
Kerajaan Luwu yang dulunya menjadi kendali atas roda pemerintahan di
Luwu kini beralih ke pemerintah empat kabupaten/kota tersebut. Kerajaan
Luwu (sekalipun masih ada) kini tinggal nama saja.
Jika kita
bertanya kepada anak-anak sekolah tentang siapa Datu Luwu saat ini maka
sebagian besar-malah semuanya- akan menjawab tidak tahu. Berbeda dengan
daerah lain di Indonesia yang merupakan daerah bekas kerajaan seperti
kesultanan Jogja yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan tidak
melupakan sejarahnya, generasi di Luwu sebagian besar justru melupakan
sejarahnya.
Kecintaan daerah lain terhadap budayanya
tercermin dari keingintahuan mereka atas sejarah, ini dapat diwujudkan
dengan menggelar pagelaran budaya. Di Jogja, tiap tahun diadakan
festival keraton sebagai bentuk kecintaan mereka akan budaya lokal.
Karya sastra I Lagaligo yang menjadi bukti intelektualitas
masyarakat Luwu dahulu malah berada di Belanda. Sehingga untuk
mempelajarinya kita harus ke Belanda. Ini menjadi tamparan yang keras
bagi kita generasi muda Luwu. Orang asing saja ingin mempelajari budaya
kita sementara kita malah meninggalkannya.
Ketidakpahaman
generasi muda Luwu tercermin dalam perilaku keseharian generasi muda.
Luwu kini lebih dikenal sebagai daerah rawan konflik. Berbagai
pertikaian antar pemuda menjadi pemandangan yang tidak asing di Luwu
saat ini.
Generasi muda Luwu lebih memilih menonton
Spiderman, Supermen, Hulk yang secara histories tak memiliki landasan
sejarah yang kuat. Film yang tak lain merupakan hasil imaginasi para
penggiat film holllywood. Padahal, heroisme sosok Sawerigading tak kalah
dari Spiderman ataupun Superman.
Kehilangan identitas budaya
Luwu yang mendera generasi mudanya selain karena arus globalisasi yang
begitu kuat juga karena tak adanya counter dilakukan terhadap budaya
asing tersebut. Bukankah penjajahan baru akan terjadi jika yang dijajah
rapuh secara internal. Bila, generasi muda Luwu memahami secara mendalam
empat ajaran tadi, yaitu adele (adil), lempu (jujur), tengeng (benar),
getteng (teguh), budaya asing tak akan dengan mudah merasuki setiap
generasi muda Luwu.
Mengembalikan Identitas Yang Hilang.
Menemukan kembali identitas budaya Luwu menjadi suatu yang wajib
dilakukan bukan hanya generasi muda namun semua elemen masyarakat Luwu
termasuk pemerintah. Budaya asing yang menghegemoni, mengakibatkan
teralienasinya para pemuda Luwu dari lingkungan sekitarnya.
Keteransingan ini disebabkan budaya asing yang masuk adalah hasil
rekayasa untuk mengeksploitasi kita secara ekonomi. Parahnya, proses ini
berlangsung tanpa kita sadari.
Makanya, pemerintah sebagai
stakeholder di Luwu saat ini sebaiknya mulai lebih memikirkan ini.
Dengan merencanakan program pengenalan budaya Luwu kepada generasi muda.
Tapi, untuk melakukan itu tentunya itu harus dimulai dari lingkungan
pemerintah.
Pemerintah daerah di Luwu harus mampu mewujudkan
masyarakat Luwu yang adele (adil). Adil yang dimaksud adalah tidak ada
lagi perlakuan berbeda dalam melakukan pelayanan publik.
Selain adil, pemerintah juga sebaiknya menjalankan amanah rakyat dengan
lempu (kejujuran). Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjadi penyakit
birokrasi tidak mungkin terjadi jika pemimpin menjalankan roda
pemerintahan dengan jujur.
Pada era otonomi daerah saat ini,
dimana pemimpin dipilih melalui pemilihan langsung, rakyat Luwu
sebaiknya mulai memikirkan pemimpin yang bersandar pada nilai-nilai
kebenaran (tengeng). Dan memiliki keteguhan hati (getteng) untuk
mempertahankan setiap kebenaran yang diyakini.